Anak yang Dilahirkan dari Perzinahan, Bagaimana Islam Mengaturnya?



Pada zaman sekarang ini semakin marak kita dengar berita mengenai perzinahan. Bahkan, pelakunya seringkali berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar SMA atau SMP. Akibat perbuatan tersebut, banyak bayi yang lahir di luar nikah. Tapi, bagaimana sebenarnya Islam mengatur hukum seorang anak yang tidak berdosa itu?

Di lingkungan kita, anak yang lahir di luar nikah sering disebut sebagai ‘anak haram’. Padahal sebutan anak haram itu tentu saja bukan untuk si anak yang haram, melainkan hasil dari perbuatan yang haram.

Islam hanya mengakui hubungan darah (nasab) seseorang  melalui jalinan perkawinan yang sah.  Ini bisa dipahami langsung dari salah satu tujuan pernikahan adalah untuk meneruskan  keturunan. Artinya, ketika sesorang  telah melangsungkan akad nikah, kemudian mereka bercampur (melakukan hubungan suami isteri) dan memperoleh keturunan, maka anak yang dilahirkan tersebut adalah sah dan dinasabkan kepada si ayah.

Namun sebaliknya, jika keturunan yang diperoleh di luar ikatan perkawinan, baik dilakukan dengan suka rela (perzinahan) atau paksaan (perkosa), maka dalam hal ini, anak yang dilahirkan dinasabkan pada si ibu  yang melahirkannya, bukan pada si ayah. Walaupun secara biologis diketahui bahwa anak tersebut terlahir dari benih sang ayah.

Kondisi ini juga berlaku pada kasus hamil di luar nikah. Mayoritas ulama sepakat bahwa anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar nikah tidak boleh dinasabkan pada ayahnya. Karena perbuatan tersebut tergolong  zinah. Ini berdasarkan pada hadis Rasulullah SAW : “Status (kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi pelaku zina (dihukum) batu,” (Muttafaq ‘alaih). Dengan demikian, pernikahan yang didahului  zinah dan dan hamil sebelum dilangsungkan aqad nikah maka anak yang terlahir dinasabkan pada ibu. Sebagai konsekwensi, si ayah tidak berhak menjadi wali nikah, mewariskan, dan hukum lainnya yang berkaitan dengan nasab.

Adapun soal apakah si ibu harus memberitahukan pada si anak siapa ayah sebenarnya, itu tidak wajib. Jadi tidak berdosa  menyembunyikan identitas ayahnya. Karena secara hukum, tidak ada lagi hak si ayah pada anak yang dihasilkan dari perzinahannya. Hanya saja, untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah mati, kalau itu tidak benar dan hanya sebagai luapan kebencian semata maka ini tidak boleh. Sebab termasuk pada perbuatan dusta yang justru akan menyulut  permusuhan lebih dalam.

Cukup saja mengatakan kondisi apa adanya jika anak itu telah dewasa atau telah memungkinkan untuk menerima kenyataan. Karena kita diharuskan senantiasa berbuat adil kepada siapapun, sampai pada orang yang kita benci sekalipun. Dan, kejujuran itu merupakan wujud dari adil yang harus kita tampilkan. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,” (QS.Al-maidah :8).

Di sini, juga perlu diingat bahwa tidak ada istilah anak haram. Karena Islam tidak mengakui adanya dosa  warisan.  Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Kalaupun ia ditakdirkan lahir dari hasil zina kedua orang tuanya, namun dosa zina bukan pada si anak tapi pada kedua orang tuanya. Allah SWT berfirman : “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS.az-Zumar: 7).  Oleh karenanya,  orang tua harus bertaubat nasuha.  Sebab zina adalah satu dosa besar yang sangat dimurkai oleh Allah SWT.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Anak yang Dilahirkan dari Perzinahan, Bagaimana Islam Mengaturnya?"

Posting Komentar