Seringkali kita mendengar dalam pidato-pidato yang mengatakan bahwa ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya’. Hal ini seringkali disampaikan terutama saat peringatan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus setiap tahunnya.
Pahlawan di sini tak hanya orang-orang yang gugur di medan perang dalam usaha memerdekakan bangsa ini dari tangan penjajah saja. Tapi, orang-orang yang berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya dan mengorbankan tenaga, waktu, serta materi untuk kemajuan bangsa ini sepertinya juga layak untuk disebut pahlawan.
Di era masa kini, sebenarnya banyak sekali kita jumpai para pahlawan yang banyak berjasa untuk kemajuan negeri tercinta ini. Namun, mereka sepertinya tak terlihat. Karya mereka seperti terabaikan begitu saja. Padahal bisa jadi karya yang mereka hasilkan bisa berguna untuk kemajuan negara ini jika mereka mendapat sedikit perhatian dari pemerintah.
Namun, sayang sekali. Banyak sekali karya-karya anak bangsa yang terabaikan dan dipandang sebelah mata di negeri sendiri. Akhirnya karya-karya ini pun dijual, bahkan dipatenkan di luar negeri. Kalau sudah seperti itu, Indonesia dapat apa? Hal seperti ini dialami oleh salah seorang penemu kompor biomassa. Berikut kisahnya yang dikutip dari hellopet.com.
Sebuah kompor biomassa hasil penelitian Muhammad Nurhuda, seorang dosen Fakultas MIPA Universitas Brawijaya diakui di pasar internasional, bahkan sekarang sudah pada tahap produksi massal di Norwegia.
“Selain dipasarkan dan diproduksi massal di Norwegia, pemasaran dan produksi biomassa yang ditangani pihak ketiga, yakni Primecookstove ini juga dipasarkan di sejumlah negara, seperti India, Meksiko, Peru, Timor Leste, Kamboja dan negara-negara di belahan Afrika,”
Kalau dibandingkan dengan kompor tradisional yang menggunakan minyak tanah, jelas kompor biomassa ini jauh lebih hemat bahan bakar dan lebih ramah lingkungan. Karena tidak menimbulkan asal dan emisi gas buangnya jauh dibawah batas yang ditetapkan oleh WHO.
Bahan bakarnya sendiri adalah kayu cacahan yang juga sudah diproduksi massal hingga 20 ton perhari. Lalu bagaimana dengan masyarakat pedesaan yang daya belinya rendah? Bisa digunakan kayu pepohonan yang banyak ditemukan di pedesaan.
Selain kayu cacah, bisa juga digunakan juga pelet sawit atau butiran kayu. Bahkan pelet sawit dan butiran kayu ini bisa menghasilkan masakan yang lebih harum dan beraroma lho.
BACA JUGA : Catatan Sedih Seorang B.J Habibie
Mempunyai respon yang cukup luar biasa di pasar luar negeri, bagaimana dengan pasar dalam negeri?
Ternyata di dalam negeri kompor ini sepi peminat dan bahkan kebanyakan enggan membelinya. Cukup ironis memang kalau melihat sudah beberapa kali ini hasil karya anak bangsa diminati oleh pasar luar negeri, sementara di negeri sendiri sama sekali tidak diminati.
Sebelum kompor biomassa ini ada mobil elektrik karya Ricky Elson yang diminati negara tetangga. Namun sepertinya Ricky Elson enggan untuk meneruskan pinangan negara tetangga ini. Sementara Profesor Khoirul Anwar memilih untuk mematenkan teknologi 4G nya di Jepang.
Semoga saja pemerintah bisa lebih jeli melihat hal-hal seperti ini, dan mencegah karya anak bangsa dipatenkan di luar negeri. Dan semoga saja kompor biomassa ini tidak dipatenkan di luar negeri lagi, mengingat produksi massal di Norwegia sudah dilakukan.
0 Response to "Dipandang Sebelah Mata di Negeri Sendiri, Kompor Karya Dosen Malang Ini Diproduksi Masal di Norwegia"
Posting Komentar